
Jakarta, Voice of Dangdut – Dalam buku lawas “Selilit Sang Kiai”, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun melukiskan tentang Rhoma Irama. Dalam tulisan yang berjudul “koin sukses” tersebut Cak Nun menyebut sang raja dangdut sebagai seorang Industriawan Musik.
Hampir pasti istilah itu dilekatkan karena Rhoma dan Soneta Group, kelompok musik yang dipimpinnya, menciptakan sebuah mata rantai ekonomi di dunia hiburan khususnya musik dan film.
Jika argumentasi ini benar, maka tepat jika kita semua melihat sebuah fenomena menarik sejak tahun 1970 hingga 90-an, dimana truk-truk besar pengangkut alat musik menuju lapangan atau stadion tempat Rhoma Irama dan Soneta Group melakukan konser.
Panggung megah beserta cahaya lampu modern serta suara sound system yang menggelegar menjadi ciri khas Soneta Group. Dan yang melengkapi adalah gegap gempita, teriakan dan riuh rendah penggemar sejak awal hingga akhir pertunjukan, mengelu-elukan sang idola. Diskripsi ini tergambarkan dalam beberapa film yang dibintanginya.
Perhelatan musik yang megah milik Rhoma setidaknya sejak kala itu, belum dilihat sebagai sebuah perputaran mikro ekonomi yang menghidupkan sebagian besar masyarakat yang berada di lingkungan tersebut. Misalnya saja pada era Orde Baru, Rhoma masih dipandang sebelah mata, karena dianggap berbeda haluan politik, bahkan dianggap oposisi.
Dengan demikian, pemerintah ketika itu tak melirik sedikitpun terhadap potensi ekonomi yang ada di dalamnya. Rhoma hanya kerap disebut sebagai raja dangdut yang memiliki puluhan juta penggemar, yang massanya bisa dikapitalisasi sebagai kekuatan politik.
Belum ada ikon-ikon ekonomi, padahal perputaran uang di dunia dangdut sepatutnya memang sangat besar, karena jumlah penggemarnya terbilang mayoritas. Dari yang paling ringan misalnya para pengamen yang membawakan lagu dangdut, para penjual kaset pita bajakan, orkes-orkes dangdut dari yang bermain di panggung-panggung pesta di kampung-kampung sampai gedung megah saat ini merupakan sebuah dinamika yang berlangsung puluhan tahun, dimana menjadi tempat ratusan ribu bahkan jutaan orang menggantungkan hidupnya.
Dalam skala yang lebih besar, dimulai akhir tahun 80-an, dimana muncul televisi swasta, seperti RCTI, TPI, SCTV dan ANTV yang juga mulai ikut berdendang, dangdut naik kelas menjadi sebuah konten industri penyiaran yang favorit.
Segala audisi dan kontestasi dangdut memunculkan bintang-bintang baru, dengan berbagai kemasan acara. Namun tak pelak, Rhoma dan Soneta pun tetap hadir dan relatif menguasai panggung-panggung hiburan televisi tersebut. Iklan pun mengalir deras. Pada konteks inilah nilai ekonomi dangdut dalam skala besar tentu dirasakan terutama oleh para pelaku usaha bidang penyiaran.
Rhoma selalu hadir dalam setiap etape karena memang nilai jual ekonominya sangatlah besar. Pasar penggemar Rhoma semakin hari semakin bertambah. Ini artinya menciptakan peluang baru bagi sebuah industri.
Kepiawaiannya dalam bermusik sudah diakui baik di dalam maupun di luar negeri. Ratusan penghargaan dan berbagai prestasi bergengsi level dunia, sudah diraihnya. Hampir bisa dikatakan Rhoma dan Soneta telah “memonopoli” panggung musik dangdut di Indonesia dan juga mancanegara.
Dalam dunia persaingan usaha, dangdut-nya Rhoma Irama memiliki konsentrasi yang tinggi. Ini tentu akibat entry barrier (hambatan masuk) yang besar, sehingga teramat sulit orang dan kelompok musik untuk masuk dan menyainginya. Maka jadilah ia memiki potensi keuntungan yang besar, karena minimnya kompetitor yang seimbang.
Konsentrasi yang tinggi dalam konteks musik Soneta adalah karena Rhoma Irama telah menginvestasikan sedemikian besar untuk kemegahan postur Soneta, sehingga menjadi sangat berkelas.
Publik secara luas terlanjur menilai bahwa penampilan Soneta bukan sekedar musik dangdut biasa, tetapi seperti menikmati sebuah orkestrasi musik yang mewakili berbagai aliran.
Kita bisa melihat Pak Haji begitu juga piawai menyanyikan lagu beraliran pop, baik yang Indonesia maupun barat serta juga pandai bersyair musik daerah ataupun Arab.
Begitu juga perihal hambatan masuk, bukan karena regulasi ataupun pasar yang melarang, tetapi karena karakter Rhoma Irama dalam bermusik yang sangat kuat dan musik Soneta yang kaya akan aransemen, yang semuanya sulit untuk ditandingi.
Banyak individu yang juga penggemar mencoba meniru tetapi publik tidak pernah merasakan sebagaimana mereka menikmati sosok Rhoma. Begitu juga tidak sedikit kelompok musik dangdut yang meniru atau beraliran Soneta, tetapi lagi-lagi tidak mudah untuk menyamai. Ini juga dipertegas dengan fanatisme penggemar yang sudah teruji puluhan tahun.
Namun, kini peta industri sudah berubah. Dangdut yang secara ekonomi berputar secara konvensional, harus beradaptasi dengan media baru yang berbasis internet.
Jika selama ini masyarakat penggemar menyaksikan konser Rhoma Irama dan Soneta melalui televisi swasta free to air (gratis), tetapi kali ini penggemar harus membuka akun youtube untuk misalnya mendengarkan lagu terbaru Rhoma Irama yang berjudul Virus Corona dan yang teranyar berjudul Rabbanaa versi duet bersama bintang baru berbakat Anisa Rahman.
Dalam hitungan minggu, jumlah penonton lagu Virus Corona di youtube telah mencapai 5 (lima) jutaan lebih. Sementara lagu Robbana yang baru dirilis beberapa hari ini sudah merangkak di angka ratusan ribu.
Penggemar Rhoma dan Soneta mayoritas rata-rata sudah di atas usia 30 tahunan bahkan di atas 50 dan 60 tahunan serta tersebar di berbagai penjuru kota dan desa, tentu tidak semuanya memiliki kemampuan berakses internet. Bahkan bisa dikatakan sebagian penggemar sudah tidak lagi menyaksikan konser live, menonton televisi dan apalagi bermain internet.
Ini yang hemat penulis akan katakan, bahwa saat ini penggemar Rhoma telah menjadi silent majority yang tidak menulis dan beradu argumen di media sosial. Meskipun kita juga menyaksikan penggemar-penggemar baru usia milenial yang berbasis internet jumlahnya merangkak naik, namun masih tetap jumlahnya di bawah penggemar yang telah berusia lebih dewasa.
Kendatipun demikian, bagi Rhoma Irama bernyanyi adalah jalan hidupnya untuk berdakwah sekaligus menghibur. Ia tampaknya tidak melihat lagi sisi benefitas dunia musik yang saat ini diukur oleh subcribe, like dan viewers sebagai basis industri musik yang terkapitalisasi melalui media baru.
Tetapi pada sisi inilah, Rhoma Irama yang sudah berkarir secara terus menerus selama lima puluh tahun, harus diakui sebagai sosok industriawan musik yang lengkap, karena di usia senja-nya masih sempat berkontribusi dengan bermusik di media baru, seperti yang dilakukan para penyanyi milenial. Maka tepat, jika pengusaha muda Sandiaga Uno yang juga menjadi penggemar beratnya menjuluki Rhoma Irama sebagai salah satu ikon ekonomi kreatif Indonesia. *
*) Penulis: Mahasiswa S3 Jurusan Ilmu Hukum dan Dosen Universitas Islam Jakarta.