
Palembang, Voice of Dangdut – Saya menulis tentang musik Dakwah Rhoma Irama ini sudah cukup lama, bisa dikatakan sejak pembuatan skripsi saya yang berjudul “Nada dan Dakwah Study Deskriptif terhadap Aktifitas Rhoma Irama dan Soneta Group” tahun 1999. Di skripsi itu saya coba ungkap sisi sisi menarik musik dakwah Rhoma irama dan sepak terjang Rhoma irama dalam industri musik, Film, dakwah dan politik.
Kekaguman saya kepada Rhoma Irama salah satunya disebabkan karena beliau membuat lagu lagu yang dilatarbelakangi oleh konteks sosial dan religius yang sering dihadapi masyarakat, Rhoma Irama sangat peka dengan kondisi sosial masyarakat, itulah kenapa lirik lirik lagu Rhoma tidak lekang oleh masa dan tetap abadi dari generasi kegenerasi.
Tidak bisa dipungkiri berapa banyak lirik lirik lagu Rhoma irama yang mengusung nuansa sosial-religius dan inilah yang membuat lagu lagu Rhoma Irama abadi. Cukup banyak kemudian penyanyi lain silih berganti dengan lagu lagu hitsnya tapi hanya seumur jagung. Kali ini saya akan coba melakukan analisa, membedah kekuatan lirik lirik lagu Rhoma Irama yang mampu membawa pada sebuah peradaban baru musik Indonesia.
Prof William Frederick dari Ohio University, Amerika Serikat, mengemukakan bahwa dangdut diproduksi oleh seorang super star sejati di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa Rhoma Irama lebih dari seorang super star biasa yang hanya berarti sosok penting dan terkenal, artinya bermakna bagi kalangan dengan tingkat perekonomian atau intelektualitas tertentu.
Rhoma Irama adalah bintang bagi massa yang sesungguhnya, bagi kalangan elit dan alit, bagi kalangan konglomerat hingga orang-orang melarat. Dangdut telah berperan penting dalam industri hiburan dengan berbagai varian output mulai dari lagu, radio, film dan berbagai program televisi.
Bukti kekuatan dangdut sudah teruji dengan lemparan kritik dari berbagai sudut pandang yang nyatanya tak menyurutkan kesetiaan penggemarnya di seluruh Indonesia.
Ungkapan Frederick yang juga diamini oleh Prof Andrew Weintraub dari Pittsburgh University, Amerika Serika (2012), menyatakan bahwa kekuatan dangdut yang amat besar tak banyak disadari oleh para pengkaji Indonesia.
Pun demikian dengan para sarjana Indonesia yang mengenyam pendidikan barat, menganggap dangdut sebagai musik aneh dan rendahan yang kurang layak dikaji, Kiranya benar ungkapan kedua ilmuwan tersebut.
Kritikus dangdut selalu mengulang-ulang deskripsi seputar praktek porno aksi. Kiranya otak mereka tak mampu lagi berpikir ilmiah manakala terbentur pinggul yang digoyang-goyang seirama dentuman gendang, begitu Weintraub berargumentasi.
Dangdut tak hanya sebagai refleksi langsung atas politik nasional dan budaya, tetapi juga sebagai praktik ekonomi, politik dan ideologi yang telah membantu membentuk gagasan masyarakat terkait kelas, gender dan etnisitas dalam bangsa-negara Indonesia moderen.
Weintraub memandang dangdut merupakan medan sosial, ia mendekati dangdut sebagai bentuk politik kebudayaan, dimana aktor sosial mencipta simbol sebagai media perlawanan serta menghadirkan makna dan nilai budaya.
Sebelum Rhoma, sudah muncul cukup banyak seniman yang mengambil ilhamnya dari agama atau yang secara lebih terang-terangan berdakwah lewat seni. Di dunia yang paling dekat dengan Rhoma sendiri ada grup Bimbo, di samping kelompok-kelompok kasidah yang timbul tenggelam.
Memang harus dikatakan bahwa Rhoma-lah yang berdakwah lewat musik secara benar-benar massal, mengingat jumlah konsumennya yang memang paling besar. Lagu-lagu yang diciptakan Rhoma, misalnya hampir semua bertema kemanusiaan sebagai tanggapan terhadap berbagai fenomena sosial. Baik gaya bahasa, cerita, maupun pilihan kata-kata yang dipakai, sesuai dengan cara ungkap masyarakat.
Dengan dasar Al-Qur‘an dan Al-Hadits, lirik-lirik yang dibuat Rhoma memiliki responsibility to the God and to the People. Not lips-service only. Dengan dasar itu Rhoma berdakwah lewat musik. Kritik sosial, baginya adalah bagian dari dakwah Amar ma’ruf nahi munkar.
Di satu sisi menyeru kebaikan, dan di sisi lain mencegah kemungkaran. Semua itu bagian dari dakwah, tapi tetap bukan tendensius, bukan mau mencari popularitas, bukan ingin menjadi pahlawan, tetapi betul-betul didorong oleh tugas suci. Inilah yang membedakan Rhoma Irama dengan penyanyi lainnya yang tumbuh saat itu hingga penyanyi populer dewasa ini.
Sejak tahun 1973 petuah moral Rhoma melalui lagu-lagunya terus bermunculan. Ia merasa bahwa musik harus dipakai untuk tujuan yang mulia, bukan sekadar untuk hiburan dan senang-senang. Lagu-lagunya kerap menghiasi telinga pendengar dengan kritik sosial yang sangat tajam dan kerap dihubungkan dengan protes-protes sosial terhadap pemerintahan maupun keadaan masyarakat Indonesia.
Kepiawaian Rhoma Irama dalam mencipta lagu memang sulit dicarikan tandingannya. Tak hanya pada lirik kritik sosial tetapi juga pada tema dakwah, pendidikan dan cinta. Di dalam lagu-lagu yang diciptakannya, tersimpan visi tentang kehidupan.
Lirik-lirik lagu dangdut Rhoma Irama, yang sarat dengan kritik sosial dan bermuatan pesan-pesan moral dapat dilihat konteksnya dan dikontekstualisasikan secara lebih luas, baik dalam sistem sosial-politik maupun budaya masyarakat. Lagu-lagu yang diciptakan Rhoma, hampir semua bertema kemanusiaan sebagai tanggapan terhadap berbagai fenomena sosial-politik.
Kepopuleran Rhoma dalam berdakwah tentu bukanlah barang baru. Bagi masyarakat penggemar Rhoma dan Soneta, hal ini merupakan sebuah nilai besar dan sangat agung. Nama Rhoma begitu mengiang-ngiang di telinga banyak fanatisme Islam di penjuru nusantara.
Disinilah, sesungguhnya peran musik sebagai produk budaya mampu menyampaikan misi. Rhoma bukan melulu sebagai penghibur. Aura lain darinya ialah simbol moralitas agama dengan sifat agak formalistik. Bahasa lagunya lurus.
Bagi Rhoma, memilih jenis musik dangdut sebagai sarana dakwah, bukannya tanpa alasan. Alasan yang dimaksud adalah karena setiap insan memiliki sense of art. Memiliki kegemaran terhadap seni, menurutnya sudah menjadi kodrat. Oleh karenanya kalau umat Islam absen dalam mengisi musik dengan nuansa islami, musik ini akan diambil dan diisi oleh orang lain, karena musik sangat memengaruhi pendengarnya. Musik punya pengaruh besar pada audiens-nya.
Sejak mencanangkan semboyan “Voice Of Moslem”, ketenaran Rhoma dan Soneta-nya memang dahsyat. Ribuan penggemarnya bertebaran di seluruh pelosok nusantara. Mereka sangat fanatik dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh Rhoma lewat lagu-lagu dangdutnya. Pesan berdakwah pun diperankan Rhoma dalam banyak film yang diperankan.
Lirik karya Rhoma argumentatif, tidak lekang oleh zaman, dengan segala kecerdasan dan wawasan luas keagamaan yang dimilikinya, Rhoma telah berijtihad untuk berdakwah melalui musik.
Dakwah Rhoma lewat musik laiknya yang dilakukan Walisongo. Rhoma, mengingatkan kita pada Sunan Kalijaga yang menggunakan dakwah Islam dengan cara pewayangan dengan tujuan membasmi kekufuran. Ketika Ki Dalang nembang “Gending Syahadatain” atau biasa disebut orang Hindu “Gending Sekaten,” mereka para penduduk yang mayoritas pemeluk Hindu tertarik dan selalu mengikuti tembangnya Kanjeng Sunan yaitu “Laa illaha illallah.” (bersambung) *
*) Penulis adalah Ketua DPW FORSA Sumsel dan Kasubag Humas Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan.